Kamis, 10 Mei 2018

BANGUNAN BANK INDONESIA DI SOLO




          Sebagai kota yang sudah berusia hampir 250 tahun, Surakarta (biasa disebut Solo) memiliki banyak kawasan dengan situs bangunan tua bersejarah. Selain bangunan tua yang terpencar dan berserakan di berbagai lokasi, ada juga yang terkumpul di sekian lokasi sehingga membentuk beberapa kawasan kota tua, dengan latar belakang sosialnya masing-masing.

          Salah satu gedung bersejarah yang masih terawat adalah Gedung Bank Indonesia yang terletak di jalan Jendral Sudirman. Gedung yang letaknya tidak jauh dari Balaikota Surakarta ini mempunyai arti sejarah yang penting, karena pada tanggal 27 Juni 1946 sekelompok pemuda menggunakan gedung ini untuk menculik Perdana Menteri Sutan Syahrir dan tokoh–tokoh lain seperti Menteri Kesehatan dr. Darna Setiawan, Jendral Mayor Sudibyo dan lain–lain. Ternyata dibelakang peristiwa tersebut berdiri “Persatuan Perjuangan” yang dipimpin oleh Tan Malaka, yang semula bernama “Volksfront” yang didirikan di Solo pada tanggal 5 Januari 1946.

      Bangunan  yang semula bernama De Javasche Bank Agentschap Soerakarta tersebut sudah didirikan lebih dari seabad silam. Bangunan Kantor BI Cabang Solo terletak di Jalan Jend. Sudirman No. 4 Solo merupakan kantor cabang keenam setelah Semarang, Surabaya, Padang, Makassar dan Cirebon.  Presiden DJB, CFW Wiggers van Kerchem, menyatakan pendirian Kantor Cabang Solo (Agentschap Soerakarta), melalui prosedur rapat umum pemegang saham luar biasa, dengan Surat Keputusan No. 15  Tanggal 23 Oktober 1867, maka disetujuilah pendirian kantor Cabang Solo dan diresmikan pada 25 November 1867.   Bangunan ini dirancang oleh Biro Arsitek Belanda Hulswitt, Fermont dan Ed. Cuipers dengan standart gaya neoklasik. Peninggalan De Javasche Bank (DJB) tersebar di berbagai kota di Indonesia. Keberadaan pusaka kota tersebut umumnya terletak dalam posisi ruang kota yang sangat berarti yakni di pusat kota yang sekaligus menunjukkan jati dirinya sebagai salah satu cikal bakal pertumbuhan kota. Sementara dari tampilan fisiknya juga memperlihatkan sosok yang berarti dalam mewakili desain/rancangan pada zamannya. Berbagai bangunan eks-DJB tersebut umumnya kini dimiliki dan dikelola oleh Bank Indonesia (BI).



   

        Meniliki sisi kesejarahan yang sangat berharga dan menonjol serta posisinya kini sebagai aset BI, sudah selayaknya pemanfaatan dan pengelolaan pelestarian termasuk perawatan bangunan-bangunan eks DJB mengikuti kaidah-kaidah pelestarian yang benar. Pelestarian bangunan-bangunan eks DJB lebih jauh diharapkan mampu mendorong pemilik dan pengelola pusaka-pusaka lain di sekililing kawasan melakukan hal yang sama, sekaligus mendorong pengembangan pelestarian pusaka di masing-masing kota di mana bangunan eks DJB berada.

          Dari segi fisik bangunan, Kantor Bank Indonesia Solo memang sudah beberapa kali mengalami perbaikan. Meski demikian, konservasi yang dilakukan tidak meninggalkan keasliannya. Gedung Kantor Bank Indonesia Solo sebelumnya digunakan sebagai kantor operasional Bank Indonesia, namun selepas konservasi pada tahun 2014 ini, gedung tersebut hanya difungsikan sebagai museum dan perpustakaan saja. Sedangkan operasional Bank Indonesia Solo dialihkan di kantor baru yang terletak di sebelah gedung lama.

          Ditilik dari segi arsitektur bangunan, sejak awal berdiri hingga saat ini memang tak banyak mengalami perubahan. Beberapa ciri khasnya antara lain Pilaster, bagian bangunan yang berguna untuk memperkuat dinding. Bagian ini serupa kolom yang menyatu dengan dinding pada jarak-jarak tertentu. Pilaster terlihat pada bangunan ek De Javache Bank yaitu pada bagian yang mengapit jendela atau pintu.



 

 
           Bagian lain yang menarik dari bangunan ini adalah oculus atau jendela. Oculus merupakan lubang ventilasi atau jendela yang berbentuk lingkaran. Moulding atau profil pada dinding bangunan ini juga merupakan artefak yang indah. Melihat ke  arah penutup bangunan yang berada pada puncak bangunan, ternyata multifungsi, karena dapat dipergunakan untuk pencahayaan ataupun sebagai hiasan. Bagian puncak ini disebut dengan nama louvre.

          Sejumlah bagian lain yang tak kalah menyita perhatian  yakni balustrade atau pagar pada atap bangunan. Ada pula jendela kecil pada artic yang disebut lucarne. Tampak juga konstruksi dinding yang berbentuk segi tiga yang diletakkan di atas pintu jendela sebagai hiasan. Satu hal lagi yang tak ketinggalan adalah hiasan berukir pada atap atau pada tympanum yang disebut sebagai amortizement.

RANGKUMAN :

Nama Bangunan         : Gedung Bank Indonesia Solo / De Javasche Bank
Lokasi                         : Jalan Jend. Sudirman No. 4 Solo
Dibangun Tahun         : 25 November 1867
Arsitek                        : Biro Arsitek Belanda Hulswitt, Fermont dan Ed. Cuypers
Fungsi Awal                : Bank Sirkulasi Hindia Belanda dan kantor operasional Bank Indonesia
Fungsi Sekarang         : Museum dan perpustakaan
Langgam                     : Gaya yang digunakan adalah gaya neoklasik

Tampak                       :





















































































































































 







Sumber                        :
http://kekunaan.blogspot.com/2012/07/gedung-bank-indonesia-solo.html
http://a-life-sketch.blogspot.com/2012/07/bangunan-konservasi-gedung-bank_10.html
http://joglosemar.co/2014/10/kantor-bank-indonesia-solo-arsitektur-sarat-sejarah.html



Kamis, 01 Februari 2018

KAJIAN PENERAPAN DAN PENGEMBANGAN KOTA HIJAU DI BANDA ACEH


Pembangunan dan pengembangan kota Banda Aceh secara cepat di berbagai sector pasca tsunami mengakibatkan timbulnya permasalahan bari, seperti volume kendaraan yang semakin menignkat yang menyebabkan kemacetan, drainase yang tidak berfungsi dengan baik, masalah persampahan, persoalan penertiban pedagang kaki lima, dan berbagai persoalan kota lainnya. Oleh karena itu diperlukan suatu perencanaan kota berkelanjutan yang menimbulakn rasa nyaman bagi masyarakat sebgai penghuni kota. Sehingga penerapan konsep kota hijau di Banda Aceh dirasakan sangat berperan terhadap perkembangan  Banda Aceh menjadi sebuah kota yang ramah terhadap lingkungan.
Kota hijau adalah kota yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan secara efektif dan efisien sumber daya air dan energy mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi terpadu, menjamin kesehatan lingkungan, mensinergikan lingkungan alami dan buatan berdasarkan perencanaan dan perancangan kota yang berpihak pad prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. (www.unep.org/wed).
            Beberapa strategi terkait perencanaan hijau adalah :
a.       Menetapkan daerah yang tidak boleh dibangun
b.      Menyusun kebijakan hijau

A.    ANALISIS TERHADAP PERENCANAAN HIJAU
Prinsip kota hijau diarahkan pada pembangunan kawasan berkepadatan tinggi, mixed used, dan berorientasi pada manusia. Perancangan diarahkan untuk mengakomodasi lebih banyak ruang bagi pejalan kaki, penyandang cacat, dan pengguna sepeda. Untuk itu pemerintah Kota Banda Aceh telah menetapkan dokumen perencanaan dan perancangan kota sebagai produk hukum yang kuat dan mengikat, baik dalam wujud peraturan daerah/ peraturan walikota, termasuk peraturan mengenai RTH, dalam hal ini mencakup juga pembuatan Master Plan Ruang Terbuka Hijau, Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) yang mengadopsi prinsip-prinsip kota hijau. Pemerintah Kota Banda Aceh telah melahirkan Qanun No.4 tahun 2009 tentang RTRW Kota Banda Aceh tahun 2009-2029 yang turut mengatur tentang RTH Kota Banda Aceh.

Dalam RTRW Kota Banda Aceh tahun 2009-2029 konsep perencanaan kota hijau terlihat dari :
Penetapan pola ruang kota didasarkan atas pertimbangan keadaan pola pemanfaatan ruang sebelum tsunami; kecenderungan perkembangan yang terjadi pasca tsunami; optimasi dan efisiensi pemanfaatan ruang; kelestarian lingkungan; dan mitigasi terhadap bencana.

·      Kebijakan dan strategi pengembangan pola

ruang kota sangat memperhatikan pengembangan kawasan lindung dengan melakukan pelestarian fungsi lingkungan hidup dan keberlanjutan pembangunan kota dalam jangka panjang, penetapan kawasan perlindungan setempat, RTH, kawasan cagar budaya, kawasan rawan bencana, dan strategi pengembangan kawasan budidaya.

·      Pelayanan transportasi kota 20 tahun yang

akan datang lebih mengutamakan pelayanan dengan angkutan massal dan sistem pengangkutan sungai dengan memanfaatkan Krueng Aceh untuk transportasi umum, transportasi barang dan transportasi wisata.
B.     ANALISIS TERHADAP RUANG TERBUKA HIJAU
Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 dinyatakan bahwa RTH terdiri dari RTH publik sebesar 20% dan RTH privat sebesar 10%. Dalam RTRW Kota Banda Aceh 2009-2029 ditetapkan bahwa pengembangan RTH meliputi taman kota, hutan kota, jalur hijau jalan, sabuk hijau, RTH pengaman sungai dan pantai atau RTH tepi air. Penyediaan RTH ini bertujuan untuk fungsi ekologis, fungsi ekonomi, dan fungsi estetika yang tidak akan dikembangkan sebagai ruang terbangun.
Total luas RTH eksisting Kota Banda Aceh seluas 2.077,28 atau 33,85% dari luas kota yang terdiri dari luas RTH publik eksisting sebesar 676,27 ha atau 11,02% artinya masih kekurangan 8,98% dari ketentuan luas minimal yang ditetapkan, dan sebaliknya ketersediaan RTH privat eksisting adalah sebesar 1.401,01 ha atau 22,83% telah melebihi luas minimal yang ditetapkan yaitu 10% dari luas wilayah. Namun distribusi RTH privat ini tidak merata dan sewaktu-waktu dapat berkurang karena pengalihan fungsi oleh masyarakat sebagai pemilik lahan.
C.     ANALISIS TERHADAP KOMUNITAS HIJAU
Sebahagian masyarakat Kota Banda Aceh sudah mempunyai kesadaran untuk membangun Kota Banda Aceh menjadi kota yang lebih baik. Hal ini terlihat dengan adanya komunitas-komunitas masyarakat yang telah terbentuk yang peduli terhadap lingkungan. Beberapa komunitas ini dibentuk oleh pemerintah Kota Banda Aceh dalam upaya pengembangan program kota hijau, ada juga yang terbentuk sendiri oleh masyarakat namun jumlahnya masih sangat sedikit.

Komunitas yang terbentuk sendiri seperti Komunitas Peta Hijau yang telah memetakan RTH yang ada di Kota Banda Aceh. Komunitas ini sudah dilibatkan secara langsung oleh pemerintah kota untuk membantu percepatan pengembangan Banda Aceh menjadi kota hijau. Komunitas hijau yang dibentuk oleh pemerintah seperti komite perwujudan RTH Lambung. Komunitas ini bertugas membangun dan memelihara RTH di gampong Lambung.


Berikut adalah Jurnal yang bersangkutan mengenai kajian penerapan dan pengembangan kota hijau di Banda Aceh.

http://prodipps.unsyiah.ac.id/Jurnalmts/images/Jurnal/volume/vol5/5.1.mts/8.%2081-90%20Syawwalina.pdf

Selasa, 16 Januari 2018

KRITIK ARSITEKTUR


 






            RUMAH TINGGAL

            Alamat            : Jl. Pinang 2 RT 01/15 No. 01, Limo-Depok
            Luas                : +- 108 m2       


Rumah ini terletak di pinggir jalan yang sering dilalui kendaraan ataupun orang-orang yang lewat. Rumah ini mempunyai ukuran yang besar diantara rumah sekitarnya. Warna rumah ini juga sangat mencolok dan tidak memiliki pagar, sehingga rumah ini bisa dianggap tidak memiliki keamanan yang bagus. Saya merasa masih banyak kekurangan dalam penempatan ruang, ukuran ruang, perletakkan furniture, dan pembuatan tangga yang salah.

1.      Dapur



Dapur dapat di akses melalui pintu samping yang secara otomatis dapat terlihat secara jelas oleh pengendara maupun orang-orang yang melintas.Sehingga aktivatas penghuni dapat dengan jelas terlihat orang pengendara ataupun orang yang melintas.

2.      Ruang Makan

 







Ruang makan yang seharusnya terletak berdekatan dengan dapur agar memudahkan penghuni justru terletak berjauhan. Ruang makan terletak di lantai 2, sehingga ruang makan tidak berfungsi dengan baik. Banyak penghuni yang makan langsung di dapur.

3.      Kamar Tidur
 










Kamar tidur berukuran 2.5 m x 2.8 m termasuk kecil jika dibandingkan dengan luas bangunan yang ada, sehingga furniture yang besar dan banyak tidak bisa ditempatkan dengan baik di tiap kamar tidur.

4.      Kamar Tidur Utama








Kamar tidur utama terletak berdekatan dengan dapur dan ruang tamu, menurut saya ruang tidur utama yang seharusnya bersifat privat justru akan terganggu dengan aktivitas pada ruang tamu dan dapur. Selain itu perletakan furniture di kamar ini juga tidak tertata dengan baik, diantaranya yaitu penempatan tempat tidur yang menghadap ke arah toilet dan tidak ada adanya ruang ganti.

5.      Ruang Tamu


 
Pemanfaataan ruang tamu yang cukup besar kurang efisien, sehingga terdapat ruang mati yang hanya digunakan sebagai tempat untuk menyimpan perabotan. Menurut saya seharusnya ruang tamu terata rapi agar kesan tamu yang datang dapat baik.

6.      Tangga
 









Tangga yang dibuat merupakan tangga lurus, namun pembuatannya terlalu menjorok sehingga sangat berbahaya untuk anak kecil. Ukuran anak tangga juga tidak sesuai dengan ketentuan yang ada, sehingga penghuni cukup lelah untuk naik ataupun turun.

7.      Furniture
Banyak perletakkan furniture yang tidak sesuai dengan fungsinya. Terlalu banyak furniture di dalam rumah, terutama furniture yang sudah tidak terpakai. Seharusnya di buat gudang untuk menyimpannya.

Berdasarkan hasil kritik tersebut dapat disimpulkan bahwa kritik yang saya gunakan menggunakan jenis kritik deskriptif.


       KRITIK DESKRIPTIF adalah kritik yang menjelaskan sebuah kritik seolah kita adalah seorang jurnalis arsitektur atau sejarahwan dan menilai bangunan secara apa adanya bedasarkan pengalaman. Pada kritik deskriptif, kita menjelaskan bagaimana perasaan kita terhadap sebuah bangunan dengan merasakan bangunan tersebut dan kemudian mencatatnya.
       Pada kritik deskriptif kita juga bisa mencatat pengalaman seseorang/ orang lain mengenai sebuah bangunan/kota. Jadi secara tidak langsung, mengetahui pendapat/kritik yang berasal dari orang lain yang merasakan/melihat bangunan tersebut. Kritik deskriptif memiliki tujuan yaitu untuk menilai sebuah bangunan dengan mengetahui proses bangunan tersebut dan dilihat dari unsure bentuk bangunan.
· Deskriptif mencatat fakta-fakta pengalaman seseorang terhadap bangunan atau kota
· Lebih bertujuan pada kenyataan bahwa jika kita tahu apa yang sesungguhnya suatu kejadian dan proses kejadiannya maka kita dapat lebih memahami makna bangunan.
· Lebih dipahami sebagai sebuah landasan untuk memahami bangunan melalui berbagai
unsur bentuk yang ditampilkannya
· Tidak dipandang sebagai bentuk to judge atau to interprete. Tetapi sekadar metode untuk melihat bangunan sebagaimana apa adanya dan apa yang terjadi di dalamnya.
Kritik Deskriptif terdiri dari :

1. Kritik Deskrpiktif - Sebuah kritik yang memaparkan secara apa adanya tanpa melebih-lebihkan.

Kritik Depiktif dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:

a. Secara Grafis

Artinya, pada kritik ini lebih memfokuskan penilaian pada elemen2 bentuk, material dan tekstur. Tujuannya, supaya dapat menjelaskan kepada pembaca agar lebih memahami sebuah bangunan sebelum si pembaca mengira-ngira tentang bangunan tersebut.

Produk dari kritik depiktif diantaranya:
- Fotografi
- Diagram
- Pengukuran
- Verbal (kata-kata)

b. Secara Verbal
Kritik Depiktif secara verbal berupa penilaian mengenai fungsi bangunan dan bagaimana penggunaanya.

c. Secara Prosedural
Pada kritik depiktif secara prosedural, artinya penilaian terhadap bangunan yang didasarkan pada lingkungan fisik dan perkembangan bangunan sejak mulai direncanakan hingga proses pembentukannya


Sumber : http://archikets.blogspot.co.id/2016/09/kritik-deskriptif.html